Jalan Malam (8)*


Jalan Malam (8)
Logo festival Tpoi Ton
(*Tulisan ini diambil dari catatan facebook tanggal 9 Desember 2017)

Hujan tidak menyurutkan niat orang untuk berkumpul. Justru adanya hujan, suasa berkumpul jadi lebih hangat. Sendiri itu dingin dan sepi. Meski ada "Usaha membunuh sepi", tetap tidak lebih efektif bila dibandingkan kumpul bersama. Atau, berkumpul itu bagian dari membunuh sepi !?

Itu kesan umum yang saya dapatkan saat mengikuti sebuah festival akhir tahun (Tpoi Ton) "Menikmati musim hujan", yang diselenggarakan berbagai komunitas bidang seni dan literasi di Kota Kupang.

Saya tiba di Aula Museum NTT sekitar pukul 18 lewat sedikit. Dalam aula sedang berlangsung sebuah diskusi. Sepintas saya mendengar, mereka sedang membahas kasus penjualan orang yang tejadi di NTT. Seorang peserta yang hadir sejak awal meninformasikan kalau pembicara utamanya dari komunitas J-Ruk Kupang.

Saya kira itu sejenis buah-buahan, lalu mengintip lewat celah pintu, semuanya manusia. Ternyata J-Ruk itu merupakan singkatan dari sebuah komunitas yang bernama: Jaringan Relawan untuk Kemanusiaan. Kegiatan merek fokus pada masalah human trafficking, salah satu masalah paling krusial di NTT. Informasi itu saya dapatkan dari berbagai karya seni atau informasi kegiatan (karya nyata) yang dipamerkan di selasar aula tempat kegiatan diskusi berlangsung.

Diskusi hampir ditutup, makanya saya memilih bertahan di luar. Kabarnya, akan ada lagi diskusi menarik malam itu. Saya menunggu sambil menikmati berbagai karya seni yang ada. Semuanya menarik.

Setiap kali menikmati karya seni, saya selalu ingin mengetahui apa yang dipikirkan oleh sang kreator saat membuatnya ? Pertanyaan itu tidak mudah dapatkan jawabannya karena sang kreator tidak selalu berada di sampingnya. Selain itu, -entah ini sekedar alasan atau tidak-, mereka selalu berdalih bahwa, setiap karya seni yang sudah dipublikasikan, anggap saja kreatornya telah tiada. Silakan setiap penikmat membuat intepretasi sendiri atas karya-karya tersebut. Bebas. Wah, istimewa betul jadi penikmat seni itu. 

Saya berpindah dari satu pajangan ke pajangan lain. Saya melihat; mengambil gambar; merenungi makna gambar; tersenyum sendiri; lalu berpindah lagi. Saya kadang bertanya juga kepada penikmat seni yang lain, bagaimana cara mereka menikmati karya orang lain. Saya simpulkan, setiap orang punya caranya masing-masing. Dan itu sah-sah saja.
Jalan Malam (8)
Seorang pengunjung sedang menerangkan intepretasinya terhadap gambar 

Sementara asik membahas berbagai karya itu, kami diingatkan panitia untuk masuk ke aula. Acara berikutnya segera dimulai. Bedah buku dari dua orang penulis NTT, Kaka Gusty Fahik dengan buku kumpulan artikelnya yang berjudul "Membaca Jejak Kekuasaan" dan Kaka Felix Nesi dengan buku kumpulan cerpennya yang bejudul "Usaha Membunuh Sepi".

Buku pertama belum saya baca. Saya malah baru membelinya sesaat sebelum acara dimulai, langsung dari tangan sang penulis. Saya tentu saja belum paham isi bukunya, apalagi buku itu membahas topik yang bagi saya cukup rumit (politik) karena jarang membacanya. Saya terbiasa membaca buku kesehatan dan topik-topik ringan lainnya. Begitu membaca buku politik, saya merasa agak linglung. Tapi, hal itu tidak menyurutkan niat saya untuk terus belajar hal-hal baru.

Saat dibedah oleh pakar ekonomi-politik dari Unwira, -kalau tidak salah ingat dan tidak salah tulis, namanya: Dedi Dhosa-, saya makin tanganga. Dia membahas isi buku itu dengan konsep teori ekonomi politik.

Meski kurang begitu paham, saya tetap menikmati prosesnya. Saya kagum dengan kemampuannya menyampaikan pandangan selalu berbasis data atau teori yang meyakinkan. Dia sebut nama-nama pencetus teori terdahulu yang bagi saya begitu asing.

Satu hal yang disadari dari proses itu, saya selama ini kurang membaca buku. Kalaupun membaca, metodenya keliru. Asal baca untuk kesenangan saja, tanpa betul-betul memahami isi buku.

Meski baru berjumpa, saya menilai si pembedah buku itu seorang pembaca yang rakus. Dia sangat menguasai topik bahasan. Pantaslah dia jadi pembedah buku essai politiknya Gusty Fahik.

Buku kedua dibedah seorang -angap saja- kritikus sastra. Maaf, saya katakan begitu karena belum tahu banyak tentangnya. Saya hanya tahu namanyaAdi Messe. Kebetulan saya berkenalan dengannya sesaat sebelum acara dimulai. Dia mengakui dirinya sebagai guru bahasa dan sasta Indonesia di salah satu sekolah swasta Kota Kupang dan berstatus sebagai mahasiswa pascasarjana bidang linguistik di Undana.

Buku kedua, sudah saya baca. Bagi saya, cerpen Falix Nesi sangat bagus. Dia mengangkat persoalan sehari-hari di Timor dalam setiap ceritanya. Saya suka membaca cerpen itu karena cukup menghibur. Lalu ada pula pesan-pesan tersirat yang lumayan baik buat pedoman hidup. Saya juga setuju dengan Bung El Roby Kapitan, Felix sangat piawai menulis. Ceritanya menarik untuk terus diikuti atau dibaca hingga tuntas. 

Saya hanya mampu menilai cerpen sebatas itu. Ternyata beda bagi kritikus sastra semacam sang pembedah semalam. Dia memiliki metode khusus. Ada teori yang dijadikan landasan pembahasan suatu karya sastra. Dia menggunakan teori ekokritik.

Dia menemukan beberapa tema dalam cerpen itu yang berkaitan dengan kritik lingkungan. Temuannya dikelompokkan menjadi 5 hal. Baginya, cerpen "Usaha membunuh sepi" mengandung kritikan bagi kondisi NTT khususnya Timor yang memiliki masalah (1) kekeringan, (2) pemukiman kumuh, (3) penanaman kembali Cendana, (4) pertanian jagung, dan (5) peternakan sapi. Kalau mau informasi lebih detail, coba hubungi langsug pembedahnya lewat akun fb di atas.
Jalan Malam (8)
Para penulis dan pembedah buku
***

Pengalaman semalam mengajarkan banyak hal baru bagi saya. Selain terhibur, saya mendapat informasi atau pengetahuan baru juga.

Saya pulang saat acara masih dilanjutkan dengan pementasan monolog dan pembacaan puisi. Saya harus segera pulang, orang rumah pasti selalu menunggu. Mereka jarang tidur sebelum saya tiba di rumah.

Saya pulang #JalanMalam dengan perasaan lega. Saya beryukur tidak hujan. Meski nama festivalnya menikmati musim hujan, bukan berarti kami senang dan bangga bila diguyur hujan. Itu sonde sehat, adi...

Posting Komentar

0 Komentar